Slide # 1

Slide # 1

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 2

Slide # 2

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 3

Slide # 3

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 4

Slide # 4

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 5

Slide # 5

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Sabtu, 15 Februari 2014



A.  Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pemisahan.
Menurut pandangan penulis terjadinya pemisahan (sekularisme) antara ilmu agama dan ilmu umum seperti yang telah terjadi pada abad ini, setidaknya disebabkan oleh dua faktor. Yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1.    Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang penulis maksud dalam pembahasan ini tidaklah terlepas dari segi historis perkembangan ilmu pengetahuan di dunia. Seperti yang telah kita ketahui bahwa akar sejarah terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat terpisahkan oleh sejarah perkembangan keilmuwan barat. Maka dari itu penulis akan mengungkapkan dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan barat terhadap kemunduran pemikiran khazanah pengetahuan dalam agama islam.
Perkembangan ilmu pengetahuan barat yang sangat maju pada abad ini tidak lah bisa dipisahkan dari tonggak sejarah yang melatarbelakanginya. Sejarah ini dimulai pada abad pertengahan yaitu sekitar abad ke-2 SM sampai dengan abad ke-16 M, dimana pada masa ini khazanah ilmu pengetahuan di barat mengalami kemunduran yang sangat pesat akibat adanya kekangan dari gereja.
Periode abad pertengahan ini mempunyai perbedaan yang menyolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan ini terutama terletak pada kekuasaan gereja. Timbulnya agama kristen yang diajarkan oleh nabi Isa a.s. pada permulaan abad Masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan. Pada awal perkembangan agama kristen belum merupakan ajaran kefilsafatan, tetapi merupakan ajaran praktis bagi kehidupan manusia yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan sebagai pengatur dunia yang menjelma dalam diri Nabi atau Yesus Kristus.[1]
Kemudian agama kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya wahyu.[2] Pada abad inilah oleh para ilmuwan disebut sebagai abad kegelapan (dark age). Karena segala sesuatu mengenai pengetahuan yang bertentangan dengan dogma gereja di ilegalkan.
Kekuasaan gereja yang sangat kuat tersebut membawa implikasi terhadap terpuruknya pengaruh pemikiran kebudayaan Yunani-Romawi yang menempatkan manusia sebagai subjek utama (monosentris). Sehingga yang semula akal manusia sebagai rujukan pertama dalam perkembangan pengetahuan, setelah adanya kekuasan gereja ini segala bentuk hasil pemikiran manusia tidak dapat dibenarkan jika bertentangan dengan dogma gereja.  
Berangkat dari keterpurukan yang dialami barat karena kekuasaan gereja yang sangat mendominasi semua bidang kehidupan khususnya bidang ilmu pengetahuan yang tidak dapat berkembang karena dianggap bertentangan dengan keyakinan agama (kristen). Maka beberapa ilmuwan seperti Dante Alighieri, Lorenzo valla, Nicollo Machiavelli, Boccacio, Francesco Petrarca, dan Desiderus Erasmus,[3]  yang mempunyai perhatian terhadap keberlanjutan ilmu pengetahuan saat itu berusaha keras menentang hegemoni gereja yang sangat kuat. Puncak perlawanan ini terjadi pada abad ke-16 yaitu terjadinya Resaissance yang berarti kelahiran kembali.
Burckhadrdt mengatakan bahwa renaissance bukan sekedar kelahiran kembali kebudayaan Romawi dan Yunani kuno tetapi merupakan kebangkitan kesadaran manusia sebagai Individu yang rasional, sebagai pribadi yang otonom, yang mempunyai kehendak bebas dan  tanggung jawab. Manusia bebas, rasional, mandiri dan individual itulah prototipe manusia modern, manusia yang sanggup dan mempunyai keberanian untuk memandang dirinya sebagai pusat alam semesta (antroposentris) dan bukan tuhan sebagai pusatnya (teosentris).[4] Esensi dari semangat Renaissance dapat disimak dari pandangannya bahwa manusia dilahirkan bukan hanya memikirkan nasib di akhirat, seperti Abad Tengah, tetapi manusia harus memikirkan hidupnya di dunia ini.[5]
Semenjak masa pencerahan Eropa, yang berlangsung dari abad ke-17 hingga abad ke-19 dan seiring pula dengan kebangkitan nalar dan empirisme serta kemajuan ilmu dan teknologi di Barat, para filsuf Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman telah membayangkan, di dalam tulisan-tulisan mereka, krisis yang diuraikan Maritain, meskipun tidak dengan cara dan dalam dimensi yang sama, karena yang disebut belakangan ini menguraikan peristiwa-peristiwa pengalaman masa kini itu dalam persepsi yang sadar dan mendalam, sementara pada masa lampau peristiwa-peristiwa tersebut hanya diketahui sebagai ramalan yang membayang saja. Beberapa theolog Kristen pada pertengahan pertama abad telah membayangkan datangnya krisis semacam itu yang disebut sekularisasi.[6]
Filsuf-Sosiolog Prancis Auguste Comte pada pertengahan abad pada pertengahan abad ke- 19 telah membayangkan adanya kebangunan ilmu dan keruntuhan agama, dan ia percaya bahwa menurut logika sekular perkembangan filsafat dan ilmu Barat, masyarakat ‘berevolusi’ dan ‘berkembang’ dari tingkat primitif ke tingkat modern. Dalam abad itu juga, filsuf penyair Jerman Fiedrich Nietsche meramalkan melalui tokohnya Zarathustra bahwa -- setidak-tidaknya untuk dunia Barat – Tuhan telah mati. Para filsuf, penyair dan pengarang Barat telah memperkirakan datangnya peristiwa itu dan menyambutnya sebagai persiapan akan tibanya suatu dunia ‘yang terbebaskan’, tanpa ‘Tuhan’ dan tanpa ‘agama’ sama sekali.[7]
Dampak dari perkembangan khazanah ilmu pengetahuan pasca renaissance ini berakibat pada sekulariasi ilmu pengetahuan dimana ilmu pengetahuan tidak dapat digabungkan dengan pengetahuan agama. Dengan dalih bahwa jika ilmu pengetahuan digabungkan dengan pengetahuan agama akan berakibat akan kembalinya pada abad pertengahan sehingga ilmu tidak dapat berkembang maka dengan berbagai macam usaha para ilmuwan Barat menciptakan teori-teori untuk mendukung terjadinya pemisahan ilmu tersebut.
2.    Faktor internal
Faktor internal yang penulis maksud di sini adalah terkait dengan kemunduran yang di alami umat islam sendiri. Dari beberapa kajian yang penulis dapatkan, kemunduran umat islam terhadap kajian ilmu pengetahuan adalah salah satunya disebabkan karena ketakutan umat islam untuk berfikir filsafat. Sehingga hanya taqlid buta terhadap sesuatu yang menurut imam mereka benar. Umat islam saat ini tidak mau berfikir kritis terhadap segala hal khususnya dalam hal beragama, umat islam terlalu terpesona dengan kemegahan kemajuan Barat yang berakibat pada skeptisme terhadap ilmu-ilmu agama islam.
Jika ditarik kebelakang dengan melihat historis perkembangan kemajuan dan kemunduran pemikiran umat islam, kemunduran pemikiran terhadap ilmu pengetahuan umat islam saat ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perdebatan pemikiran para ilmuwan islam saat itu. Dalam hal ini penulis memberanikan diri untuk mengakui bahwa salah satu penyebab ketakutan umat islam untuk berfikir filsafat adalah akibat dari pemikiran Imam al-Ghazali yang kemudian ditulis menjadi karyanya yang berjudul Tahafut al-Falasifah (kerancuan berfikir filosof) yang menentang pemikiran filsafat yang berkembang saat itu.
Selain itu, al-Ghazali mengkategorikan sains dan teknologi sebagai fardlu kifayah bagi muslim untuk menguasainya. Al-Ghazali menilainya sebagai bagian dari ilmu-ilmu yang terpuja (‘ulum almahmudah). Kenyataan ini berkembang dalam masyarakat pada masa-masa berikutnya adalah kecendrungan menjauhi atau bahkan alergi terhadap ilmu fardlu kifayah ini. Sebagai tonggak sejarah, madrasah Nizamiyyah, tempat al-Ghazali mengajar selama 25 tahun dan merupakan model madrasah klasik di abad ke-11 yang sangat populer, terbukti tidak menawarkan ilmu-ilmu non agama sama sekali. Model madrasah ini juga diikuti oleh madrasah-madrasah lain di masa berikutnya di bawah pemerintahan Mamluk dan Utsmaniyyah.[8]
Terlepas dari perdebatan benar tidaknya tuduhan ini, namun dalam kenyataannya sangat berpengaruh terhadap jalan pemikiran umat islam sekarang ini. Merasuknya pemikiran Imam Ghazali ke dalam diri umat Islam sehingga menjadi basis ideologis pemikiran umat Islam karena Imam al-Ghazali merupakan ulama besar yang menjadi rujukan dan panutan saat itu. Di sisi lain, kelompok rasionalis Islam, terutama Mu’tazilah memandang bahwa Al-Ghazali telah melakukan kesalahan besar terhadap perjalanan sejarah Islam karena dalam memberikan solusi terhadap problematika umat, lebih cenderung mengajak mereka untuk memasuki jalan tasawuf yang mengabaikan kehidupan dunia dan menghambat kemajuan masyarakat karena tenggelam dalam mencari kebahagiaan yang bersifat pribadi dan individualistis.[9]
Akibat luas dari pertentangan pemikiran tersebut menyebabkan umat islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan terbelah menjadi dua kubu. Kubu pertama yang menganggap dirinya sebagai pro keislaman yang terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memedulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya global, para ilmuwan Muslim bersikap difensif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yaitu dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syariah. Mereka menganggap bahwa syariah (fiqih) adalah hasil karya yang telah fixed dan paripurna sehingga segala perubahan dan pembaruan atasnya adalah penyimpangan dan setiap penyimpangan adalah sesat dan bid’ah.[10]
Kubu kedua ditempati oleh yang pro terhadap ilmu pengetahuan umum yang mereka pandang sebagai ilmu yang rasional, sistematis, terukur dan dapat dibuktikan dengan analisis. Mereka menganggap bahwa ilmu agama terpisah dari ilmu pengetahuan, sehinga banyak sarjana didikan modern yang mempelajari ilmu pengetahuan umum cenderung  bersikap sekularistik-materialistik dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius.[11]
B.  Solusi Integrasi dan Interkoneksi antara Ilmu Umum dan Ilmu Agama Islam
Ada beberapa solusi yang ditawarkan dan digunakan oleh beberapa perguruan tinggi untuk mengintegrasikan dan interkoneksikan antara ilmu umum dan ilmu agama islam. Di antaranya adalah
1.    Teori Jaring Laba-Laba UIN Sunan Kalijaga
Teori ini juga dikenal dengan keilmuan interkonektif-integratif, teori ini dikenalkan oleh Amin Abdullah sebagai  salah  satu  tokoh  dalam  ilmu  filsafat dan pendidikan dan juga pernah menjabat sebagai Rektor UIN sunan kalijaga.
Paradigma interkoneksitas memberikan argumen dalam pemahaman menghadapi kompleksitas perjalanan proses realitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, bahwa setiap gugusan-gususan keilmuan apapun harus melakukan komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada, baik itu keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan mampu kokoh sendirian, memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu perasaan merasa cukup dengan kekuatan sendiri ini akan mengakibatkan pemikiran sikap yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan dengan egoisme disiplin keilmuan.[12]
Sikap saling kerjasama, saling tegur sapa, merasa saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan lebih dapat membantu manusia dalam memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sedangkan paradigma integrasi keilmuan memberikan gambaran dengan berharap tidak akan memunculkan kembali ketegangan dan tirai antar keilmuan yang dimaksud dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normatif ke wilayah historis atau sebaliknya. Paradigma interkoneksitas akan lebih memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih unggul yakni modest, humility dan humanis.[13]
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai konsep integratif dan interkonektif, berikut ini ilustrasi hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik:


Alur di atas menunjukkan bahwa inti keilmuan (hard core) adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah kawasan yang disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang final,  tidak  dapat  diubah-ubah,  sedangkan  wilayah  yang  mengitarinya masih terbuka untuk terus dilakukan penguatan ataupun pembaruan sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kondisi zaman yang senantiasa menyertainya. Menyimak gambar di atas, maka dapat dipahami bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam segala sektor perikehidupan, baik sektor tradisional maupun sektor modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi globalisasi.[14]
Lebih lanjut, Amin Abdullah memberikan pemahaman dalam ranah pendidikan di perguruan tinggi dalam menyusun kurikulum dan silabi dengan menggunakan pendekatan etos dan nafas reintegrasi epistemologi keilmuan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pitfall atau jebakan-jebakan keangkuhan disiplin ilmu yang merasa memiliki kepastian dalam wilayah sendiri-sendiri dan tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar dirinya. Yakni dalam menyusun ulang kurikulum, silabi serta mata kuliah di UIN dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip (meminjam istilah konsep dari al-Jabiri) yaitu hadarah al-nas (penyangga budaya teks bayani), hadarah al-ilm (teknik, komunikasi), dan hadarah al-falsafah (etik). Hadarah al-nas memang tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari hadarah al-ilm dan hadarah al-falsafah dan begitu sebaliknya. Tiga prinsip tersebut diimplementasikan melalui perubahan dari IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga.[15]
Paradigam integratif dan interkonektif keilmuwan ini berusaha membangun kembali kerjasama antar berbagai cabang ilmu. Berusaha menghilangkan egoisme antar masing-masing cabang ilmu untuk membangun paradigma keilmuwan yang saling membutuhkan satu sama lain. Sehingga para mahasiswa maupun para pengajar tidak lagi menkotak-kotakkan antara cabang ilmu agama islam dan ilmu umum.
2.    Teori Pohon Ilmu UIN Maliki Malang
Teori ini dikembangkan di UIN Maliki Malang guna mengatasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama yang saat ini dipandang saling berbeda. Akibat pembedaan antara kedua ilmu tersebut menyebabkan hasil didikannya pula menjadi dua kubu, di satu sisi mahasiswa yang hanya tekun belajar ilmu umum dan tidak mengerti secara mendalam tentang ilmu agama islam, di sisi lain mahasiswa yang hanya tekun mempelajati ilmu pengetahuan umum dan tidak memahami perkembangan khazanah keilmuan islam.
Berangkat dari hal tersebut UIN Maliki berusaha mensiasati terjadinya integrasi ilmu antara ilmu umum dan ilmu agama islam. Teori ini disebut sebagai teori pohon ilmu karena memang memandang bahwa Pohon yang besar, sehat, dan  kuat,  tentu memiliki akar yang kuat pula. Akar itu menghujam ke bumi. Akar inilah yang selalu berfungsi mencari  sari pati makanan yang dibutuhkan,  dan sekaligus sebagai penyangga kekuatan seluruh bagian pohon itu. Kekuatan pohon itu tergantung dari akarnya. Jika akar itu menghujam ke bumi dengan kuatnya, maka pohon itu bisa tegak. Pada saat apapun, misalnya sekalipun diterjang oleh angin kencang  serta  hujan lebat, jika akar ini kuat dan kokoh maka pohon itu tidak akan roboh.
Akar yang kuat ini digunakan untuk menggambarkan, betapa pentingnya ilmu-ilmu alat yang harus dikuasai oleh pencari ilmu  di kampus ini. Yang dimaksud sebagai ilmu alat adalah Bahasa, yaitu Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan juga Bahasa Indonesia, filsafat atau logika, dasar-dasar ilmu alam dan ilmu social, dan filsafat pancasila. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dipandang sangat penting dikuasai oleh seluruh mahasiswa.[16]    
Betapa pentingnya kedua bahasa asing itu, maka dalam perumpamaan sebatang pohon besar, digambarkan sebagai akarnya. Pohon itu tidak akan goyah, jika akarnya kuat. Betapapun hebatnya hempasan angin dan hujan, pohon itu tetap tegak, jika akarnya kuat. Demikian pula, jika mahasiswa menguasai kedua bahasa asing itu, maka mereka akan mudah menguasai ilmu pengetahuan, baik yang terkait dengan kajian Islam yang berbahasa Arab, maupun  ilmu-ilmu lainnya yang berbahasa Inggris.[17] 
Selanjutnya, hal penting lagi bahwa pohon itu  harus berada dan tumbuh di tanah yang subur. Kesuburan tanah sangat menentukan pertumbuhan dan kekuatan pohon itu. Pohon yang tumbuh di tanah yang tandus, maka tidak akan kuat dan tidak akan menghasilkan buah yang semestinya. Tanah di mana pohon itu tumbuh, digunakan untuk menggambarkan betapa pentingnya kultur atau budaya kampus. Pengembangan akademik memerlukan budaya akademik. Budaya akademik  harus ditumbuhkan.[18]
3.    Islamisasi Ilmu
Hanna Djumhana Bastaman, seorang pakar psikologi dari Universitas Indonesia (UI), Jakarta, menyatakan bahsa islamisasi adalah upaya menghubungkan kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti menghubungkan kembali sunnatullah (hukum alam) dengn al-Quran, yan keduanya sama-sama ayat Tuhan.[19]
Gagasan islamisasi ilmu ini dikembangkan dan diresmikan sebagai proyek islamisasi Ilmu oleh Syeid Muhammad Naquib al-Attas tahun 1977.[20] Kemudian pada tahun 1981 didirikan oleh sebuah perguruan tinggi The International Isntitute of Islamic Thought (IIIT) yang dipelopori oleh Ismael Raji al-Faruqi.[21]
Semangat dari islamisasi ilmu ini adalah mengembalikan kembali nilai-nilai keislaman dalam berbagai bidang ilmu (khususnya ilmu-ilmu umum). Karena menurut pandangan mereka ilmu-ilmu umum yang kiblatnya di Barat jika dibiarkan berkembang akan menimbulkan bahaya. Sebab ilmu-ilmu umum tersebut dibangun dengan pondasi akal dengan mengedepankan rasionalisasi. Sehingga suatu pengetahuan dianggap sebagai ilmu jika pengetahuan tersebut dapat dibuktikan, diukur secara sistematis dan nampak oleh indera dan terlebih lagi bahwa ilmu-ilmu umum yang berkembang di barat berbasis bebas nilai (value free).
Guna mengintegrsikan antara ilmu umum dan ilmu agama, Ismail Raji Al-faruqi mepunyai 12 langkah-langkah kerja yang diperlukan untuk mencapai proses Islamisasi, di antaranya adalah penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris, survei disiplin ilmu, penguasaan khasanah Islam: sebuah antologi, penguasaan khasanah ilmiah Islam tahap analisa, penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu, penilaian kritis terhadap khasanah Islam: tingkat perkembangan dewasa ini, survei permasalahan yang dihadapi umat Islam, survei permasalahan yang dihadapi umat manusia, analisa kreatif dan sintesa, penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku daras tingkat universitas dan penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.

 
Daftar Pustaka
Asdi, Endang Daruni, 1978, Sejarah Filsafat Barat Abad Pertengahan, , Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Faultas Filsafat UGM.
Adisusilo,J.R, Sutarjo. 2005, Sejarah Pemikiran Barat Dari Yang Klasik Sampai Yang Modern, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

al-Attas, al-Naquib, 1981, Islam dan Sekularisme, terj.Karsidjo Djojosuwarno,Bandung: Pustaka.
Mas’ud, Abdurrahman, 2002,Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,Yogyakarta: Gama media.
Sholeh, A Khudori2013, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Suharyanta dan Sutarman, Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam, Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012.pdf
Thaid, Khairul Umam, Imam al-Ghazali:Sebuah Telaah tentang Metodologi Reformasi, diakses dari http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Jan96/8.htm, pada tangggal 05 Januari 2014.

Memaknai Akar Pohon Ilmu UIN Maliki Malang, diakses dari http://www.uin-malang.ac.id/ pada tanggal 05 Januari 2014.



[1] Endang Daruni Asdi, Sejarah Filsafat Barat Abad Pertengahan, , Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Faultas Filsafat UGM,1978,hlm. 1
[2] Ibid,hlm.2
[3] Sutarjo Adisusilo,J.R.Sejarah Pemikiran Barat Dari Yang Klasik Sampai Yang Modern, Yogyakarta: Universitas Snata Dharma Yogyakarta,2005,hlm.38-49
[4] Ibid,hlm.20
[5] Ibid,hlm.21
[6] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj.Karsidjo Djojosuwarno, Bandung: Pustaka, 1981,hlm.1-2
[7] ibid
[8] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,Yogyakarta:Gama media,2002,hlm.6
[9] Khairul Umam Thaid, Imam al-Ghazali:Sebuah Telaah tentang Metodologi Reformasi, diakses dari http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Jan96/8.htm, pada tangggal 05 Januari 2014
[10] A Khudori Sholeh, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2013, hlm.327
[11] Ibid,hlm.328
[12] Suharyanta dan Sutarman, Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam, Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012.pdf, hlm.62
[13]ibid
[14] Ibid,hlm.68
[15] Ibid,hlm.69
[16] Memaknai Akar Pohon Ilmu UIN Maliki Malang, diakses dari http://www.uin-malang.ac.id/ pada tanggal 05 Januari 2014.
[17] ibid
[18] ibid
[19] A Khudori Sholeh,op.cit. hlm.294
[20] Ibid,hlm.295
[21] Ibid,hlm.296



Fondasi awal tentang munculnya gagasan islamisasi ilmu-ilmu sosial didasarkan pada terjadinya pemisahan antara ilmu-ilmu sosial dengan ilmu-ilmu agama (islam). Pemisahan ini semata-semata tidak terjadi begitu saja, melainkan dibangun atas pola pikir masyarakat yang dibumbui oleh ideologi-ideologi tertentu.
Selanjutnya Gagasan atau gerakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan juga merupakan salah satu upaya menjawab tantangan modernitas yang melanda umat Islam. Ada semacam guncangan di kalangan umat Islam, menyaksikan realitas yang menempatkan diri mereka pada sudut buram sejarah. Di balik kemegahan peradaban Barat yang terus melaju pasca Renaissance, sebagian besar dunia Islam secara kontras justru termegap-megap dalam sesuatu yang dalam visi modern disebut perangkap kemunduran dan keterbelakangan. Terlebih, masih segar dalam ingatan kolektif umat Islam bahwa beberapa abad lampau mereka pernah memegang supremasi peradaban dengan dominasi yang kukuh pada ranah kebudayaan, politik maupun ekonomi. Dengan simbol kekuasaan politik Kekhalifahan Abbassiyah di Bagdad, Kekhalifahan Umayyah di Cordova, mereka pernah berada pada posisi superior dibandingkan masyarakat Eropa yang pada masa itu justru terkungkungi masa-masa sejarah yang gelap.[1]
Setiap universitas islam di  dunia ini mengalami kekurangan tenaga staf dan tidak satu pun universitas Islam dapat mengklaim bahwa kurikulum ilmu sosialnya sudah islami. Bahwa mungkin ada sudut-sudut cemerlang dalam dunia Islam, memang tidak dapat disangkal. Tetapi adanya kebutuhan sumber daya manusia bagi pendidikan Islam adalah kenyataan paling menyedihkan dan tidak dapat disanggah. Meskipun ada ratusan ribu Kaum Muslim yang berderajad Master of Art (MA), Philosophy of Doctor (Ph.D), namun hanya beberapa di antaranya yang sadar akan masalah pentingnya mengislamkan disiplin ilmu-ilmu sosial ini, dan banyak sekali yang otaknya justru sudah dicuci oleh pikiran-pikiran barat dengan sangat serupa hingga menyebabkan mereka menjadi musuh dalam ikhtiar Islamisasi ini.[2]
Bersamaan dengan itu, sistem dan model pendidikan Islam yang dianggap sebagai ujung tombak kemajuan, justru mendukung dan melestarikan tradisi keimuan Islam yang stagnan. Menurut Al-Faruqi, model pendidikan masyarakat Islam bisa dipolakan menjadi tiga kategori. Pertama, sistem pendidikan tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara sempit, sisi hukum, dan ibadah mahdhah, yang dalam konteks Indonesia dapat ditunjukkan pada sistem pendidikan salaf di pesantren. Kedua, sistem pendidikan yang lebih menekankan ilmu-ilmu sekuler yang diadopsi secara mentah dari Barat, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada sistem pendidikan umum. Kedua sistem pendidikan ini menimbulkan dualisme (split) dalam kepribadian masyarakat Muslim. Alumnus salaf (pesantren) cenderung bersikap konservatif-eksklusif dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu modern yang sebenarnya sangat diperlukan, sementara sarjana  pendidikan modern cenderung bersikap sekularistik-materialistik dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius.[3]
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas maka penulis hanya menfokuskan pada tiga hal permasalahan. Pertama, apa prinsip-prinsip dasar tentang islamisasi ilmu-ilmu sosial?. Kedua, apa tujuan dari islamisasi ilmu-ilmu sosial?. Ketiga, bagaimana rencana kerja islamisasi ilmu-ilmu sosial?
Pembahasan
A.  Biografi Singkat Isma’il Raji Al-Faruqi
Dr. Isma’il Raji Al-faruqi (1 Januari 1921 - 27 Mei 1986) adalah seorang terkenal di Palestina-Amerika, filsuf terkemuka diakui oleh rekan-rekannya sebagai otoritas pada Islam dan perbandingan agama. Dia adalah sarjana yang sangat berbakat dan aktif. Selama bertahun-tahun sebagai profesor tamu studi Islam dan dosen tetap di Mc Gill University, seorang profesor studi Islam di pusat Lembaga Penelitian Islam Karachi serta menjadi dosen tamu di berbagai universitas di Amerika utara, ia menulis lebih dari 100 artikel untuk berbagai jurnal dan majalah ilmiah ditambah dua puluh lima buku, di antara buku yang paling terkenal adalah christian ethics: A Historical and Systematic Analysis of Its Dominant Idea. Meskipun semua kegiatan akademik ini, ia berhasil mendirikan Kelompok Studi agama Islam akademi Amerika dan menjadi ketua  selama sepuluh tahun. Ia menjabat sebagai wakil presiden Perdamaian Kolokium Inter-agama, konferensi Muslim Yahudi-Kristen  dan sebagai presiden dari perguruan tinggi Islam Amerika di Chicago.[4]
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme. Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.[5]
Pendidikan pertama yang diperolehnya yaitu di masjid dan kemudian di sekolah biara. Dari masjid ke biara, perubahannya sangat besar dan berbeda, tetapi hal tersebut justru memberikannya bekal dalam memandang agama dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda (Al-Faruqi dan Lamnya Al-Faruqi,1998: 6). Setelah memperoleh pendidikan di College Desferes selama 1 tahun yaitu tahun 1926 – 1636. Kemudian dia melanjutkan studinya di American University sampai memperoleh gelar B.A. (Bachelar of Arts) pada tahun 1941 M. Selanjutnya dia menjadi pegawai pemerintah Palestina dalam mandat Inggris selama 4 tahun. Berkat prestasinya, dia diangkat menjadi gubernur di porpinsi Gailee (Haris, 1998 : 2).[6]
Pada tahun 1949, Al-Faruqi melanjutkan belajaranya kembali. Dia kuliah di Indiana Unversity hingga memperoleh gelar dalam bidang filsafat. Setelah 2 tahun kemudian, dia juga memperoleh gelar master kedua dalam bidang yang sama dari Harvard University. Gelar Doktor diraihnya dari Indiana University. Dan dia juga memperdalam pengetahuan keislaman di Universitas Al-Azhar selama 4 tahun (Haris, 1998 : 3).[7]
Al-faruqi banyak meninggalkan karya tulis. Seperti yang telah disebut di atas, tercatat tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku, yang mencakup berbagai persoalan, antara lain, etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika, dan politik. Di antara bukunya adalah Ushul al-Syhyuniyah fi al-Din al-Yahudi (1963) Historical Atlas of Religion of the World (1974), Islamic and culture (1980), Islamization of Knowlegde General Principles and Workplan (1982) Tauhid Its Implications for Thought and Life (1982), Cultural Atlas of Islam (1982), Christian Ethics, Trealogue of Abraham Faith, dan Atlas of Islamic Culture and Civilization.[8]
Isma’il Raji Al-Faruqi wafat pada tanggal 17 Ramadhan 1406 H atau 27 Mei 1986. Dia dibunuh oleh 3 orang yang tak dikenal, di wilayah Cheltelham, Philadelphia (Al-Faruqi dan Lamnya Al-Faruqi, 1998 : 8). Maka untuk mengenang beliau, The Internasional Institut of Islam Though (IIIT), Washington DC, tahun 1993 memberi penghargaan bagi karya-karya akademis yang istimewa. Penghargaan ini dikenal sebagai “Isma’il Al-Faruqi Award”.[9]
B.  Prinsip-Prinsip Dasar Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial
Untuk membumikan gagasannya tentang islamisasi ilmu, Al-faruqi meletakkan fondasi epistemologinya pada prinsip tauhid yang terdiri dari lima macam kesatuan.
1.    Keesaan (kesatuan) Allah
Adalah prinsip pertama dari agama Islam dan setiap yang Islami. Itulah prinsip bahwa Allah adalah Allah, bahwa tak ada sesuatupun yang selain dari pada-Nya, Dia tunggal secara mutlak, selain dari Dia adalah terpisah dan berbeda dengan Dia serta merupakan ciptaanNya[10] dan bahwa tidak ada tuhan selain Allah, yang menciptakan dan memelihara semesta. Implikasinya berkaitan dengan pengetahuan adalah bahwa sebuah pengetahuan bukan untuk menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dari Realitas Absolut (Tuhan), melainkan melihatnya sebagai bagian  yang integral dari eksistensi Tuhan.[11]  
2.    Kesatuan Alam Semesta
a.    Tata Kosmis
Alam semesta adalah sebuah keutuhan yang integral karena merupakann karya Pencipta Tunggal yang aturan dan desain-Nya telah memasuki setiap bagian alam semesta tersebut. Hukum-hukum ini berlaku di alam semesta dan meresapi setiap bagian atau aspek alam semesta. Hal- hal yang material, spasial (ruang), biologis, psykis, sosial dan estetis-semua realitas itu menuruti  dan meyempurnakan hukum-hukum ini. Semua hukum ini adalah sunan (pola-pola) Allah Ta’ala di dalam penciptaan-Nya terhadap alam semesta. Allah Ta’ala tidak hanya sumber hukum-hukum ini,  atau setelah merancang alam semesta sesuai dengan hukum-hukum  ini  di dalam alam, tidak menjalankan atau mengontrolnya lagi. Dia bukanlah  Tuhan yang telah mengundurkan diri, tetapi Dia selama-lamanya hidup dan aktif. Jadi setiap kehidupan sesuatu di dalam kosmos dan setiap peristiwa yang terjadi, adalah sesuai dengan perintah-Nya. Di dalam setiap tahap eksistansi-Nya, setiap wujud dilengkapi dengan kekuatan dinamis untuk berubah. Kekuatan dinamis bersumber dari Tuhan dan dipelihara oleh-Nya. Selanjutnya kekuatan ini tidak harus membuahkan hasil dengan mana ia diasosiakan. Dengan perintah Allah lah bahwa sebuah efek tertentu ditimbulkan oleh sebab-sebab yang biasanya diasosiakan dengannya. Allah dapat menimbulkan sebab untuk dapat mewujudnkan efeknya dalam waktu yang segera; tetapi Dia dapat menimbulkan sebuah sebab melalui sebab-sebab lain, sehingga memenuhi apa yang menurut pandangan kita  dikenal sebagai sebuah rantai sebab yang tak dapat ditawar-tawar, sama halnya dengan sebuah pemyebab tunggal. Bagi kita sebagai manusia adalah percaya bahwa Allah Ta’ala, tata kosmisnya, yang menimbulkan sebuah sebab dan efeknya akan menunyusul. Seperti yang telah ditentukan oleh al-Ghazali dan Hume, walaupun keduanya mempunyai perbedaan-perbedaan ideologis, tidak ada  perlunya suatu hubungan kausal. Sesungguhnya yang kita sebut sebagai kausalitas hanyalah “following upon” (kelanjutan dari) dan pengulangan, yang menyebabkan kita percaya bahwa suatu sebab biasanya diikuti oleh efek-efeknya. Keyakinan seperti ini tidak mempunyai tempat berpijak kecuali kemurahan Tuhan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak bermaksud untuk mendustai atau menyesatkan. Dia adalah pencipta yang pengasih, yang mengatur segala sesuatu di dalam alam semesta agar dapat kita melaksanakan pilihan-pilihan moral kita dan di dalam perbuatan itu membuktikan nilai etik kita.[12]
b.   Penciptaan: Sebuah Tujuan-Tujuan Ukhrawi.
“...... Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al-furqon,25:2).
Ukuran ini memberikan kepada setiap sesuatu sifatnya, hubungannya dengan hal-hal lain, dan perjalanan eksistensinya. Secara sama, ukuran Tuhan terhadap setiap sesuatu bukan hanya mencakup sistem sebab-akibat yang kita terangkan di atas, tetapi juga kepada sebuah sistem tujuan-tujuan akhir (ends). Setiap sesuatu mempunyai sebuah tujuan, sebuah raison d’etre untuk mana sesuatu itu berbakti. Tujuannya ini tidak pernah bersifat final, tetapi selalu tunduk kepada tujuan-tujuan lain di mana ia merupakan sebuah nexus final yang hanya bertujuan akhir (ends) di dalam Tuhan. Karena hanya Dialah tujuan akhir (ends) yang Tertinggi, tujuan yang akhir kepada siapa setiap sesuatu akan kembali. Kehendak-Nya membuat baik setiap sesuatu yang seharusnya baik.[13]
Bahwa segala sesuatu di dalam alam semesta untuk sebuah tujuan dan bahwa segala tujuan saling berhubungan satu sama lain sebagai cara tujuan membuat dunia ini menjadi sebuah sistem telik (suatu sistem yang mengungkapkan maksud atau tujuan akhirnya) yang hidup, bergetar dan penuh dengan arti. Burung-burung di angkasa, bintang-bintang di jagad raya, ikan-ikan di dalam lautan, tumbuh-tumbuhan dan unsur-unsur  semuanya merupakan bagian-bagian yang integral dari sistem ini. Tidak ada satu  bagian daripadanya yang tidak berharga atau jahat, karean setiap sesuatu mempunyai sebuah fungsi dan peranan di dalam kehidupan keseluruhannya. Secara bersama, bagian-bagian tersebut membentuk sebuah badan organis, yang anggota-angotan dan orang-orangnya saling berhubungan dai dalam cara-cara, yang  baru sekarang ditentukan oleh manusia untuk menentukan sains, tetapi itupun sangat terbatas. Kaum muslimin sangat memahami bahwa penciptaan adalah secara organis, bahwa setiap bagiannya mempunyai tujuan tertentu, sekalipun tidak diketahui oleh mereka. Pengetahuan ini adalah sebuah konsekuensi keyakinan mereka. Dihadapkan dengan serigala yang melahap anak domba, burung yang memakan kupu-kupu, atau ulat yang memakan manusia di dalam tanah, mereka berasumsi bahwa kehidupan adalah baik, aktivitas yang wajar menyempurnakan sebauah tujuan ilahiah dan mengabdi pada sebuah sistem tujuan-tujuan yang puncaknya adalah kehendak tuhan. Seorang muslim tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu itu terjadi secara kebetulan, bertakdir buta. Gempa-gempa bumi dan wabah-wabah, musim kering dan bencana oleh seorang Muslim dipandang sebagai kehendak Allah. Betapapun tragis dan menyakitkan, seorang muslim menerima peristiwa-peristiwa ini sebagai akibat-akibat yang ditimbulkan Allah, kaum muslimin tidak pernah tenggelam di dalam peristiwa-peristiwa itu karean tahu Allah, yang menimbulkan peristiwa-peristiwa itu, dalam waktu bersamaan adalah pelindungnya yang Maha Pengasih. Oleh karena itu ia akan memandang peristiwa-peristiwa tersebut sebagai ujian dari Allah kepadanya, yang meminta ketabahan iman, dan keoptimisannya yang sebesar-besarnya terhadap hasil yang terakhir.[14]
c.    Taskhir (ketundukan) Alam Semesta Kepada Manusia
Allah Ta’ala menganugerahkan alam semesta ini sebagai sebuah pemberian dan panggung sementara kepada umat manusia. Manusia telah membuat setiap sesuatu di alam semesta dapat digunakan manusia untuk makanannya, kenikmatannya dan kesenangannya. Di dalam alam semesta ada apa-apa yang dibutuhkan manusia, obyek-obyeknya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Keseluruhan alam semseta dapat menerima kemujaraban (efficacy) manusia, menanggung perubahan karena inisiatif manusia dan mengalami transformasi ke dalam pola-pola yang dikehendaki manusia. . .  manusia dapat mengeringkan lautan atau mengeringkan matahari, meniadakan gunung dan menanami padang pasir, atau membiarkan semuanya terbuang percuma. Manusia dapat memenuhi alam semesta dengan keindahan dan membuat segala sesuatu menjadi subur, atau memenuhinya dengan keburukan dan menghancurkan setiap sesuatu. Kepatuhan alam semesta kepada manusia tidak mengenal batas. Allah Ta’ala telah menghendakinya demikian.
3.    Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Pengetahuan
Kebenaran bersumber dari realitas, dan jika semua realitas bersumber dari sumber yang sama, Tuhan, kebenaran tidak mungkin lebih dari satu. Apa yang disampaikan lewat wahyu tidak mungkin berbeda apalagi bertentangan dengan realitas yang ada, karean Dia-lah yang menciptakan keduanya. Faruqi merumuskan kesatuan kebenaran ini sebagai berikut: (1) bahwa berdasarkan wahyu, kita tidak boleh mengklaim yang paradoksal dengan realitas. Pernyaataan yang diajarkan wahyu pasti benar dan harus berhubungan dan sesuai dengan realitas. Jika terjadi perbedaan atau bahkan pertentangan antara temuan sains dan wahyu,  seorang Muslim harus mempertimbangkan kembali pemahamannya atas teks atau mengkaji ulang data-data penelitiannya: (2) Bahwa dengan tidak adanya kontradiksi antara realitas dan wahyu, berarti tidak ada satu pun kontradiksi antara realitas dan wahyu yang tidak terpecahkan. Karena itu, seorang Muslim harus terbuka dan senantiasa berusaha merekonsililsaikan antara ajaran agama dan kemajuan Iptek: (3) Bahwa pengamatan dan penyelidikan terhadap semesta dengan bagian-bagiannya tidak akan pernah berakhir, karena Pola-pola Tuhan tidak terhingga. Betatapun mendalam dan banyaknya seorang menemukan data baru, semakin banyak pula data yang belum terungkap. Karena itu, seorang Muslim dituntut untuk open minded, rasional, toleran, terhadap bukti dan penemuan baru.[15]
4.    Kesatuan hidup
Menurut Al-faruqi, kehendak Tuhan terdiri atas dua macam, yaitu (1) berupa hukum alam (sunnatullah) dengn segala regularitasnya yang memeungkinkan diteliti dan diamati, materi, dan (2) berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama. Kedua hukum ini berjalan seiring, senada, dan seirama dalam kepribadian seorang muslim. Konsekuensinya, tidak ada pemisahan antara yang bersifat spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani.[16]
5.    Kesatuan manusia.
Tata sosial Islam, menurut Faruqi (al Faruqi, 1995: 110), adalah universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Kelompok muslim  tidak  disebut  bangsa,  suku atau  kaum  melainkan  umat.  Pengertian umat  bersifat  trans lokal  dan  tidak  ditentukan  oleh  pertimbangan  geografis, ekologis,  etnis,  warna  kulit,  kultur  dan  lainnya,  tetapi  hanya  dilihat  dari  sisi taqwanya.  Meski  demikian,  Islam  tidak  menolak  adanya  klasifikasi  dan stratifikasi  natural  manusia  ke dalam  suku,  bangsa  dan  ras  sebagai  potensi yang  dikehendaki  Tuhan. Yang  ditolak  dan  dikutuk  Islam  adalah  faham ethnosentrisme,  karena  hal  ini  akan  mendorong  penetapan  hukum,  bahwa kebaikan  dan  kejahatan  hanya   berdasarkan  ethnisnya  sendiri,  sehingga menimbulkan berbagai konflik antar kelompok (al-Faruqi,1995:88). Kaitannya dengan islamisasi ilmu, konsep ini mangajarkan bahwa setiap pengembangan ilmu  harus  berdasar  dan  bertujuan  untuk  kepentingan  kemanusiaan,  bukan hanya kepentingan golongan, ras dan etnis tertentu.[17]
C.  Tujuan Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial
Secara umum, Islamisasi ilmu Faruqi dimaksudkan sebagai respons positif terhadap realitas pengetahuan modern yang sekularistik di satu sisi dan Islam yang terlalu religius di sisi lain, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integeral tanpa pemisahan di antara keduanya. Secara terperinci, tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut:[18]
1.      Penguasaan disiplin warisan Islam;
2.      Penguasaan khazanah warisan Islam;
3.      Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern;
4.      Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secra kreatif dengan ilmu-ilmu modern.
5.      Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah.

D.  Rencana Kerja Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial
Untuk merealisir tujuan-tujuan ini, sejumlah langakh harus diambil menurut suatu urutan logis yang menentukan prioritas-prioritas masing-masing langkah tersebut. Adapun langkah langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Langkah 1. Penguasaan Disiplin Ilmu Modern: Penguraian Kategoris[19]
Disiplin-disiplin Ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema-tema. Penguraian tersebut harus mencerminkan ‘daftar isi’ sebuah buku pelajaran dalam bidang metodologi disiplin ilmu yang bersangkutan, atau silabus kuliah-kuliah disiplin ilmu tersebut seperti yang harus dikuasai oleh seorang mahasiswa tingkat sarjana. Penguraian tersebut tidaklah berbentuk judul-judul bab dan tidak pula ditulis dalam istilah-istilah teknis, menerangkan kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat dalam puncaknya.
Langkah 2. Survei Disiplin Ilmu[20]
Setiap disiplin ilmu harus disurvei dan esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologina, perluasan cakrawala wawasannya, dan tak lupa sumbangan-sumbangan pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Bibliografi dengan keterangan singkat, dari pada karya-karya terpenting di bidang itu harus dicantumkan sebagai penutup dari masing-masing disiplin ilmu. Tulisan itu juga harus mengandung daftar berkategori dan berurutan dari buku dan artikel utama yang perlu dibaca seorang calon sarjana dalam rangka penguasaan ilmu tersebut secara tuntas.
Langkah ini bertujuan untuk memantapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan  di dunia Barat. Survei disiplin ilmu yang cukup berbobot dan dilengkapi dengan catatan kaki akan merupakan dasar pengertian bersama bagi para ahli yang akan melakukan silamisasi disiplin  ilmu tersebut. Oleh karena ilmu-ilmu tersebut di Barat dewasa ini telah menjadi beraneka sisi sebagai akibat adanya ledakan pengetahuan, maka kini sudah tiba saatnya, bagi ilmuwan-ilmuwan islam yang bersangkutan untuk suatu disiplin ilmu yang sama, untuk menyelam sampai pada dasarnya   dan kemudian bersepakat mengenai identitas, sejarah, topografi dan garis depan daripada obyek yang akan diislamkannya.
Langkah 3. Penguasaan Khasanah Islam: Sebuah Antologi[21]
Proses islamisasi ilmu-ilmu modern akan menjadi miskin jika kita tidak menghiraukan khasanah dan memanfaatkan pendangan-pandangan tajam para pendahulu kita tersebut. Meskipun demikian, kontribusi khasanah ilmiah Islam tradisional pada suatu disiplin ilmu modern tidak mudah diperoleh, dibaca dan dipahami oleh seorang imuwan muslim masa kini tidak disiapkan untuk menelusuri sumbangan-sumbangan khasanah islam pada disiplin ilmu yang ditekuninya. Alasannya ialah karena kategori-kategori keilmuwan Barat dewasa ini. Ilmuwan muslim yang terdidik dalam pendidikan dunia barat  seringkali gagal karena ketaksanggupannya memahami khasanah ilmiah Islam. Seringkali ia cenderung untuk menyerah dan berputus asa dan menganggap bahwa khasanah ilmiah Islam membisu dalam topik yang ditekuninya. Padahal yang benar ialah bahuwa ia tidak mengenal kategori-kategori khasanah ilmiah Islam yang digunakan oleh obyek disiplin ilmu yang ditekuninya itu. Lagipula, ilmuwan muslim didikan gaya barat biasanya tidak mempunyai waktu ataupun energi yang dibutuhkan untuk penjajakan khasanah ilmiah Islam yang begitu kaya dan luas itu dengan berhasil.
Dilain pihak, para ilmuwan muslim yang terdidik secara tradisional, penguasa-penguasa khasanah ilmiah Islam tidak dapat menemukan dan menetapkan relevansi khasananh Islam tersebut bagi disiplin-disiplin ilmu modern, oleh karean mereka tidak mengenalnya. Hal ini terjadi meskipun mereka ahli di bidangnya. Mereka tidak mengenal dengan topik, problema dan tema yang diselidiki ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu mereka perlu di perkenalkan dengan ilmu pengetahuan modern untuk kemudian dibebaskan untuk mencari hal-hal yang relevan bagi ilmu-ilmu tersebut dalam khasanah ilmiah Islam. Untuk itu langkah 1 dan 2 merupakan alat yang ampuh untuk tujuan ini. Dengan memperkenalkan ilmu-ilmu modern kepada para ilmuwan pewaris ilmu-ilmu Islam tradisional diharapkan mereka dapat menemukan kriteria relevansi yang  dapat digunakan dalam penelitian mereka.
Langkah 4. Penguasaan Khasanah Ilmiah Islam Tahap Analisa[22]
Para ilmuwan tradisional pendahulu kita telah bekerja keras untuk menyorot permasalahan yang dihadapinya dengan khasanah Islam. Mereka melakukan hal tersebut dalam pengaruh berbagai faktor dan kekuasaaan yang menekan mereka untuk diperhatikan. Untuk dapat memahami kristalisasi wawasan Islam mereka, karya-karya mereka perlu dianalisa dengan latar belakang sejarah dan kaitan antara masalah yang dibahas dengan berbagai bidang kehidupan manusia perlu diidentifikasi dan diperjelas. Analisa sejarah dan sumbangan khasanah ilmiah Islam tak dapat diragukan lagi akan memperjelas berbagai wilayah wawasan Islam itu sendiri. Pengetahuan bagaimana pendahulu kita memehami wawasan islam dan digerakkan olehnya, bagaimana mereka menterjemahkan wawasan itu menjadi perintah-perintah  praktis dan sebuah gaya hidup dan bagaimana wawasan tersebut membantu mereka dalam menanggulangi persoalan dan kesulitan yang khas, tentu saja akan mendorong pemahaman kita akan wawasan Islam.
Analisa sumbangan khasanah ilmiah Islam itu tentu saja tidak bisa kita lakukan sembarangan. Sebuah daftar untuk prioritas urut perlu dibuat dan para ilmuwan Islam perlu dihimbau untuk mengikutinya dengan ketat. Di atas segalanya, prinsip-prinsip pokok dan tema-tema abadi yaitu tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan relevansi kepada permaslahan-permasalahan masa kini harus lah menjadi sasaran strategi penelitian dan pendidikan Islam.
Langkah 5. Penentuan Relevansi Islam yang Khas Terhadap Disiplin-disiplin Ilmu[23]
Kelompok langkah yang terdahulu menghadapkan para pemikir islam pada suatu masalah. Semuanya, secara bersama-sama, mengikhtiarkan perkembangan disiplin ilmu yang telah luput dari pengawasan mereka selama mereka terlelap dalam tidurnya. Begitu pula, keempat langkah itu harus memberi informasi pada mereka dengan otoritas dan kejelasan sebesar mungkin mengenai sumbangan khasanah islam dalam bidang-bidang yang dipelajari oleh dan pada tujuan-tujuan umum disiplin ilmu modern. Bahan-bahan ini akan dibuat lebih spesifik dengan cara menterjemahkannya ke prinsip-prinsip yang setara dengan disiplin-disiplin ilmu modern dalam tingkat kemumuman, teori, referensi dan aplikasinya. Dalam hal ini, hakekat disiplin illmu modern beserta metoda-metoda dasar, prinsip, problema, tujuan dan harapan. Hasil-hasil capaian dan keterbatasan-keterbatasannya, semuanya harus dikaitkan kepada khasanah Islam.  Begitu pula relevansi-relevansi khasanah Islam yang spesifik pada masing-masing ilmu harus diturunkan secara logis dari sumbangan umum mereka.

Langkah 6. Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Modern: Tingkat Perkembangannya di Masa Kini[24]
Ini adalah suatu langkah utama dalam proses ilmu pengetahuan. Semua langkah-langkah sebelum itu adalah langkah-langkah pendahuluan sebagai suatu persiapan. Dalam perkembangan sejarahnya, faktor-faktor kebetulan yang menentukan disiplin ilmu tersebut dalam bentuknya yang sekarang harus diidentifikasi  dan diungkapkan. Metodologi disiplin ilmu tersebut beserta apa yang dianggap sebagai data daei problema beserta klasifikasi dan kategorisasinya, begitu pula apa yang dianggap sebagai teori dan prinsip-prinsip pokok yang digunakannya untuk memecahkan pesoalannya, harus dianalisa dan diuji akan reduksionisme, kesesuaian kemasukakalan dan ketepatan asasnya dengan konsep panca kesatuan yang diajarkan Islam. Akhirnya tujuan utama masing-masing disiplin harus dikaitkan secara kritis dengan metodologi yang dipakai beserta sasaran antara yang dikejarnya. Benarkah disiplin ilmu tersebut telah memenuhi wawasan para pelopornya? Benarkah ia telah mereallisasi peranannya dalam upaya besar manusia untuk mencari kebenaran? Sudahkan disiplin ilmu tersebut memenuhi harapan manusia dalam tujuan umum hidupnya? Sudahkan disiplin tersebut dapat menyumbang pemahaman dan perkembangan pola penciptaan Ilahiah yang harus diwujudkannya? Jawaban pertanyaan-pertanyaan ini harus terkumpul dalam laporan sebenarnya mengenai tingkat  perkembangan disiplin ilmu modern dilihat dari sudut pandangan Islam.
Langkah 7. Penilaian Kritis Terhadap Khasanah Islam: Tingkat Perkembangannya Dewasa Ini[25]
Yang dimaksud dengan khasanah Islam pertama-tama adalah Quran suci, firman-firman Allah SWT, dan Sunnah Rasulullah Muhammad saw. Ini bukan sasaran kritik atau penilaian. Status Ilahiah daripada Quran dan sifat normatif daripada sunnah adalah sesuatu ajang tidak untuk dipertanyakan. Walaupun begitu pemahaman muslim mengenai hal tersebut boleh dipertanyakan. Bahkan ia selalu harus dinilai dan dikritik berdasarkan prinsip-prinsip yang bersumber pada kedua sumber pokok Islam yang disebut terdahulu. Begitu pula segala sesuatu yang berupa karya manusia yang walaupun berdasarkan kedua sumber utama tersebut tetapi melalui usaha intelektual manusia. Unsur manusiawi ini perlu mendapat sorotan oleh karena ia tidak lagi memainkan perannya yang dinamis dalam kehidupan muslim masa kini seperti yang seharusnya. 
Relevansi pemahaman manusiawi tentang wahyu ilahi dai berbagai bidang permasalahan umat manusia dewasa ini harus dikritik dari tiga sudut tinjauan: pertama, sumber-sumber wahyu beserta konkritisasinya dalam sejarah kehidupan Rasulullah saw, para sahabat dan keturunanya ra. Kedua, kebutuhan umat Islam dunia saat ini. Ketiga, semua pengetahuan modern yang diwakili oleh disiplin tersebut. Ababila khasanah Islam tidak sesuai dan bersalahan, ia harus dikoreksi dengan usaha-usaha kita masa kini.
Langkah 8. Survei Permasalahan yang Dihadapi Umat Manusia[26]
Setelah diadakan analisis kritis terhadap keilmuwan modern maupun khazanah Islam, langkah berikutnya adalah mengadakan survei terhadap berbagai problem intern di segala bidang. Problem ekonomi, sosial, dan politik yang sedang dihadapi dunia Islam ini sebenarnya tidak berbeda dengan gungung es dari kelesuan moral dan intelektual yang terpendam. Untuk bisa diidentifikasi semuanya dibutuhkan survei empiris analisis kritis secara komprehensif. Kearifan yang terkandung dalam setiap disiplin ilmu harus dimanfaaatkan untuk memecahkan problem membatasi ilmunya dalam satu titik yang hanya memuaskan keinginan intelektualitasnya, lepas dari realitas, harapan, dan aspirasi umat Islam.
Langkah 9. Survei Permasalahan yang Dihadapi Manusia[27]
Sebagian dari wawasan dan Islam adalah tanggung jawabnya yang tidak terbatas pada kesejahteraan umat Islam, tetapi juga menyangkut permasalahan seluruh manusia di dunia dengan segala heterogenitasnya bahkan mencakup seluruh alam semesta. Dalam beberapa hal, umat Islam memang terbelakang dibanding bangsa lain tetapi dari sisi ideologis, mereka adalah umat yang paling potensial dalam upaya proses integralisasi antara kesejahteraan, religius, etika, dan material. Islam mempunyai wawasan yang diperlukan bagi kemajuan peradaban manusia untuk menciptakan sejarah baru di masa depan. Karena itu, ilmuwan muslim harus terpanggil untuk berpartisipasi mengahadapi problem kemanusiaan dan membuat solusi terbaik sesuai misi dan visi Islam.

Langkah 10. Analisis Sintesis Kreatif dan Sintesis.
Setelah memahami dan menguasai semua disiplin ilmu modern dan disiplin keilmuan Islam trasidisional, menimbang kelebihan dan kelemahan masing-masing, mendeterminasikan relevansi Islam dengan dimensi-dimensi pemikiran ilmiah tertentu pada disiplin-disiplin ilmu modern, mengidentifikasi problem yang dihadapi umat Islam dalam lintasan sejarah sebagai hamba sekaligus khalifah, dan setelah memahami permasalahan yang dihadapi dunia maka saatnya mencari lompatan  kreatif untuk bangkit dan tampil sebagai protektor dan developer peradaban manusia.[28]
Sintesa kreatif harus dicetuskan di antara ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin-disiplin ilmu modern untuk dapat mendobrak kemamdegkan selama beberapa akhir ini. Khasanah ilmu-ilmu Islam harus sinambung dengan ilmu-ilmu modern dan harus mulai menggerakkan tapal batas depan ilmu pengetahuan ke cakrawala-cakrawala yang lebih jauh daripada apa yang diperkirakan oleh disiplin-disiplin ilmu modern. Sintesa kreatif itu harus menjaga relevansinya dengan realitaf umat Islam dengan memperhatikan permasalahan yang telah dikenali dan dimainkan terdahulu.[29]
Langkah 11. Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern ke dalam Kerangka Islam: Buku-buku Daras Tingkat Universitas[30]
Bersadasarkan wawasan-wawasan baru tentang Islam serta pilihan-pilihan kreatif bagi realisasi makna tersebut itulah sejumlah buku daras tingkat perguruan tinggi akan ditulis di semua bidang keilmuwan modern. Berbagai esei yang mencerminkan dobrakan-dobrakan pendangan bagi setiap topik, cabang ilmu atau permasalahan harus terkumpul cukup banyak agar supaya sebuah “wawasan latar belakang”, atau “bidang relevansi” di mana akan muncul wawasan Islam bagi masing-masing cabang ilmu modern.
Sejumlah besar buku daras diperlukan untuk membina daya tahan intelektual para pemikir Muslim, dan sejumlah besar buku daras untuk pegangan di Perguruan Tinggi. Di atas segalanya, banyak buku yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang tak terhingga kaum Muslim dan untuk meproyeksikan dan mengkristalisasikan wawasan Islam yang juga amat luas itu. Betapapun, pertimbangan prioritas mengharuskan kita untuk menyalurkan usaha-usaha pertama kita di bidang pembuatan buku-buku daras baku di bidang masing-masing disiplin ilmu modern di dalam mana akan ditegaskan  relevansi wawasan Islam di bidang tersebut. Buku-buku ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman umum bagi para ilmuwan kelak dikemudian hari. 
Langkah 12. Penyebarluasan Ilmu-ilmu yang Telah Diislamisasikan
Adalah suatu kesiasiaan apabila hasil karya para ilmuwan Muslim di atas disimpan saja sebagai koleksi pribadi mereka masing-masing. Juga sangat disayangkan apabila karya-karya tersebut hanya diketahui terbatas oleh segelintir kawan-kawan penulis atau hanya digunakan oleh lembaga pendidikan di lingkungan atau negeri mereka. Karya apa saja yang dibuat berdasar Lilllahi Ta’ala adalah menjadi milik seluruh umar Islam.[31]
Selain itu untuk mempercepat program islamisasi, pertama, perlu sering diadakan seminar dan konferensi yang melibatkan berbagai ahli dalam bidang keilmuan untuk memecahkan persoalan di sekitar pengkotakan antar disiplin ilmu pengetahuan. Kedua, lokakarya untuk pembinaan staf. Setelah sebuah buku pelajaran dan tulisan pendahuluan ditulis sesuai dengan aturan 1 sampai 12 di atas maka diperlukan staf pengajar yang terlatih. Para ahli yang membuat produk tersebut harus bertemu para staf pengajar untuk mendiskusikan sekitar pra-anggapan tak tertulis, dampak-dampak tak terduga dari teori, prinsip, dan pemecahan masalah yang dicakup buku tersebut.[32]





Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan di atas maka penulis memperolehl tiga kesimpulan penting, di antaranya adalah:
1.    Prinsip-prinsip dasar yang digunakan Ismail Raji Al-faruqi untuk merealisasikan gagasannya tentang Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial meliputi 5 prinsip yaitu keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan umat manusia.

2.    Kemudian maksud dan tujuan gagasan Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial adalah untuk Penguasaan disiplin warisan Islam, Penguasaan khazanah warisan Islam, Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern, Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secra kreatif dengan ilmu-ilmu modern dan Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah.

3.    Untuk merealisasikan tujuan dari islamisasi ilmu-ilmu sosial dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang telah disebut di atas, Ismail Raji Al-faruqi mepunyai 12 langkah-langkah kerja yang diperlukan untuk mencapai proses Islamisasi, di antaranya adalah penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris, survei disiplin ilmu, penguasaan khasanah Islam: sebuah antologi, penguasaan khasanah ilmiah Islam tahap analisa, penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu, penilaian kritis terhadap khasanah Islam: tingkat perkembangan dewasa ini, survei permasalahan yang dihadapi umat Islam, survei permasalahan yang dihadapi umat manusia, analisa kreatif dan sintesa, penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku daras tingkat universitas dan penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.








Daftar Pustaka
Al-Faruqi, Ismail Raji, 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.
Bagader, Abubaker A, editor,1985, Isamisasi Ilmu-Ilmu Sosial, cet.1,Yogyakarta: PLP2M.
Sholeh, A Khudori, 2013, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Soleh, A Khudori, Mencermati Konsep Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-faruqi, fakultas Psikologi UIN Maliki Malang.pdf
Sholehuddin, M. Sugeng, Ismail Raji Al-faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan, jurnal FORUM TARBIYAH,Vol. 8, No. 2, Desember 2010.

Yusdani, islmaisasi Model al-Faruqi dan penerapannya dalam Ilmu Ekonomi Islam di Indonesia (Suatu Kritik Epistemik), jurnal ekonomi Islam, La-riba, Vol.1, No.1, Juli 2007
Al-faruqi, Ismail Raji, seminar 2010 Programme.pdf,
Id.Wikipedia.org




[1] Yusdani, islmaisasi Model al-Faruqi dan penerapannya dalam Ilmu Ekonomi Islam di Indonesia (Suatu Kritik Epistemik), jurnal ekonomi Islam, La-riba, Vol.1, No.1, Juli 2007,hlm.80
[2] Abubaker A. Bagader, editor, Isamisasi Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta: PLP2M, cet.1, 1985,hlm.19
[3]A Khudori Sholeh, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2013, hlm.328
[4] Ismail Al-faruqi seminar 2010 Programme.pdf, hlm. 5
[5] Id.Wikipedia.org
[6] M. Sugeng sholehuddin, Ismail Raji Al-faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan, jurnal FORUM TARBIYAH,Vol. 8, No. 2, Desember 2010,hlm.204
[7] Ibid,hlm.205
[8] A Khudori soleh, Filsafat Islam, Op.cit, hlm.325-326
[9] M. Sugeng sholehuddin, op.cit,hlm.205
[10]Ibid, hlm. 212
[11] A Khudori soleh, Op.cit, hlm. 330
[12] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Pustaka,1984,hlm. 59-60
[13] Ibid,hlm.61-62
[14] Ibid,hlm.62-63
[15] A Khudori soleh, filsafat islam, op.cit, hlm.331
[16], ibid,hlm. 332
[17] A Khudori soleh, Mencermati Konsep Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-faruqi, fakultas Psikologi UIN Maliki Malang, hlm. 8
[18] A Khudori soleh, filsafat islam, op.cit, hlm.332
[19] Ismail Raji Al-faruqi, op.cit, hlm. 99
[20] ibid
[21] Ibid,hlm. 100
[22] Ibid,hlm.103
[23] Ibid,hlm.104
[24] Ibid,hlm.105
[25] Ibid,hlm.107
[26] Khudori Soleh, filsafat Islam, op.cit,hlm.337-338
[27] Ibid,hlm.338
[28] Ibid,
[29] Ismail Raji Al-faruqi, op.cit, hlm.112
[30] Ibid,hlm.113-115
[31] Ibid, hlm.115-116
[32] Khudori Soleh, Filsafat Islam, op.cit, hlm.340-341